Minggu, 26 Desember 2010

REVISI UUJN : UPAYA MAKSIMAL ATAU HANYA SEBUAH WACANA

Terbitnya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004, mengundang pro dan kontra yang berkisar pada beberapa pasalnya. Sampai akhir-akhir ini ada upaya untuk me-revisi UUJN.

Sebenarnya RUU tentang Jabatan Notaris telah selesai disusun oleh Departemen Kehakiman pada permulaan tahun 1979. Isi RUU tentang Jabatan Notaris tersebut, yang sepanjang mengenai materi yang diatur di dalamnya tidak banyak berbeda dengan Peraturan Jabatan Notaris (Stb. 1860-3).

Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) hingga terbentuk secara sistematis dan kemudian disahkan menjadi UU Jabatan Notaris, tentunya melalui proses yang panjang dengan segala perdebatannya. Pembentuk undang-undang tentunya mempunyai alasan yang krusial sehingga perlu membentuk UU Jabatan Notaris. Hal ini nampak dalam konsiderannya, misalnya pada konsideran Menimbang huruf e menyebutkan salah satu alasannya, yaitu :

“bahwa Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) yang mengatur mengenai jabatan notaris tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat”.

Sekalipun substansinya tidak banyak berbeda dengan PJN, namun terbitnya UU Jabatan Notaris mengakibatkan PJN (Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 91 UU Jabatan Notaris. Hal ini tentunya sepanjang yang sudah diatur.

Eksistensi UUJN ini pernah diajukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi seputar status hukum organisasi Notaris dan penggunaan cap/stempel lambang negara. Akhirnya MK telah mengeluarkan Putusannya No. 009-014/PUU-III/2005.

Dari beberapa pasal yang menimbulkan pro dan kontra, terdapat Pasal 15 ayat (2) huruf f yang agak kontroversial, menjadi sorotan utama, hingga pada berdebatan yang serius. Pasal 15 ayat (2) huruf f menyebutkan sebagai berikut :

“Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”.

Sementara pada penjelasan pasal tersebut disebutkan ‘cukup jelas’. Dengan demikian tidak diperlukan penjelasan lebih lanjut, karena pembentuk undang-undang menganggap esensi Pasal 15 ayat (2) huruf f sudah cukup jelas dan dapat dipahami dari peraturan perundang-undangan lain yang berlaku saat ini (hukum positif) yang menjelaskannya.

Perdebatan serius terjadi oleh karena kewenangan Notaris yang diamanatkan Pasal 15 ayat (2) huruf f tersebut berbenturan dengan kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Yang menjadi persoalan bukan PPAT-nya, tetapi lembaga yang terkait dengan PPAT, yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam hal ini BPN amat berkepentingan terhadap jabatan PPAT.

Adalah wajar jika BPN berkeberatan atas Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Jabatan Notaris, karena memang BPN adalah lembaga yang terkait dan sangat berkepentingan. Namun sungguh ironis, jika yang keberatan adalah Notaris yang notabene merangkap sebagai PPAT. Katanya iklan, ‘jeruk makan jeruk’.

Saya kira pasal kontroversi itu tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, karena selama ini sudah banyak tulisan-tulisan dan buku yang menjelaskan tentang hal itu.

Namun problem Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Jabatan Notaris tidak dapat dibiarkan begitu saja, dan tidak bisa hanya sebatas diskusi, diperdebatkan dalam rapat-rapat atau kongres, serta selesai pada batas keputusan bersama. Apalagi hanya pada batas sebuah artikel yang menjelaskan persoalan tersebut. Jika problem tersebut tetap dipertahankan sampai batas-batas yang demikian, maka mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum.

Maria SW. Sumardjono, sebagaimana dikutip Irawan Soerodjo, mengatakan bahwa :

“Secara normatif, kepastian hukum itu memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional mampu mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaan peraturan perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya”.

Tidak terciptanya kepastian hukum, karena UU Jabatan Notaris secara operasional belum mampu mendukung pelaksanaannya. Sementara sumber daya manusia pendukungnya tidak konsisten dan tidak konsekuen melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut. Keadaan ini lebih cenderung ke arah tarik-ulur antara Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham) dengan Badan Pertanahan Nasional. Ketidakpastian hukum ini akan membawa akibat negatif kepada kepercayaan masyarakat terhadap jabatan Notaris yang merupakan jabatan kepercayaan (vertrouwensambt). Maka Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Jabatan Notaris perlu direvisi..! (bukan sekedar revisi, tapi ada kepastian hukum untuk diimplementasikan).

Kemudian, ada satu pasal lagi dalam UUJN yang perlu menjadi perhatian, karena di dalam UUJN tidak ada ketentuan tentang sanksi jika dilanggar.

Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN menyebutkan :

”Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: menerima magang calon Notaris”.

Dalam kenyataannya, tidak sedikit Notaris yang menolak magang calon Notaris dengan berbagai alasan. Lucunya, ada pasal yang mengatur tentang ‘kewajiban’ tetapi tidak ada pasal yang mengatur tentang sanksi jika kewajiban itu dilanggar. Justru sanksi itu diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf j Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI No. M-01.HT.03.01 Tahun 2003 tentang Kenotarisan, yang berbunyi :

“Notaris dilarang : menolak calon Notaris magang di kantornya”.

Sanksi dari ketentuan tersebut jika dilanggar terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) KepMenKeh dan HAM No. M-01.HT.03.01 Tahun 2003 tersebut, yaitu :

“Dalam hal Notaris melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Menteri dapat memberikan sanksi berupa :

a. surat teguran ;

b. surat peringatan ;

c. pemberhentian sementara ;

d. pemberhentian tetap.

Namun, lagi-lagi sangat disayangkan, bahwa implementasi dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut kurang ‘bertaring’ alias kurang ada ‘gregetnya’. Boleh dibilang terkesan ‘mlempem’. KepMenKeh dan HAM No. M-01.HT.03.01 Tahun 2003 tersebut sepanjang belum diatur, maka tetap dinyatakan berlaku oleh Peraturan Menteri Hukum dan HAM-RI No. M.01-HT.03.01 Tahun 2006 tentang Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan dan Pemberhentian Notaris.

Maka khususnya pasal-pasal yang mengatur tentang magang di UUJN tersebut perlu direvisi (sekali lagi, bukan sekedar revisi, tapi ada kepastian hukum untuk diimplementasikan). Karena ini menyangkut kepentingan calon Notaris, dimana magang adalah salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris. Mohon tidak menciptakan diskriminasi atau ‘gap’ antara yang ‘senior’ dan yang ‘yunior’.

Jika mengamati bobot UUJN, sebenarnya masih ada beberapa pasal lagi dalam UUJN yang perlu menjadi perhatian untuk direvisi. Namun biarlah yang lain saja untuk mengoreksinya. Sebagai penutup, kita coba mengamati satu pasal lagi, yaitu Pasal 25 ayat (3) UUJN, yang berbunyi :

“Selama menjalankan cuti, Notaris wajib menunjuk seorang Notaris Pengganti”.

Pasal tersebut terkesan disusun terburu-buru. Alangkah lucunya, Notaris yang sudah dalam keadaan menjalankan cuti baru menunjuk seorang Notaris Pengganti. Mustinya kan pada saat mengajukan permohonan cuti disertai penunjukan seorang Notaris Pengganti. Jadi Pasal 25 ayat (3) tersebut adalah ‘mubazir’. Yang benar adalah Pasal 27 ayat (1) UUJN, yaitu :

“Notaris mengajukan permohonan cuti secara tertulis disertai usulan penunjukan Notaris Pengganti”.

Maka Pasal 25 ayat (3) UUJN tersebut diusulkan agar ditiadakan saja.

Demikian, agar eksistensi peraturan perundang-undangan itu dapat dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya. Biar ada ‘taringnya’, biar tidak ‘mlempem‘…

sumber:denbagusRasjid.2010

Senin, 20 Desember 2010

BPbHTB dipungut masing-masing PEMDA

Rencana pengalihan pajak bumi dan bangunan (PBB) dan biaya pengalihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) di bawah kewenangan daerah terancam gagal. Dari 33 provinsi, baru 2 provinsi yang mengaku sudah siap."Rencana Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk mengalihkan penerimaan pajak dari PBB dan BPHTB ke daerah sudah seharusnya direalisasikan, namun saya khawatir daerah belum siap," kata Pengamat Perpajakan Darussalam ketika dihubungi kemarin. Selama ini, kata Darussalam, PBB dan BPHTB di seluruh Indone-sia dipungut oleh pemerintah pusat. Namun, pada 2011 pajak dipungut oleh pemerintah daerah(pemda)di-mana bangunan dan tanah tersebut berada.Tujuannya untuk pemerataan pembangunan agar pajak bisa dinikmati di daerah-daerah.

Pengalihan pemungutan PBB dan BPHTB menurut Darussalam memang bukan langkah yang mudah dan bisa direalisasikan dengan cepat. Sebab, kemampuan masing-masing daerah untuk mengelola keuangan berbeda. "Untuk mempersiapkan pengalihan, seharusnya sum ber daya manusia (SDM) di daerah sudah dipersiapkan, jangan sampai dialihkan tapi mereka tidak mampu menangani," tegasnya.

Dalam sebuah diskusi dengan media di Anyer, Banten, terungkap bahwa pengalihan pemungutan PBB perdesaan dan perkotaan dan BPHTB dinilai tidak akan mengurangi penerimaan pajak pemerintah pusat. Pengalihan pemungutan terjadi karena berlakunya Undang-Undang Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)yang berlaku sejak 1 Januari 2011.


"Pengalihan PBB dan BPHTB ke daerah tidak akan menganggu penerimaan pajak di pusat yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010," kata Kasubdit Bidang Penilaian II Ekstensifikasi dan Penilaian Ditjen Pajak Budi Hardjanto.

Sumber : Harian Seputar Indonesia